Social Icons

Pages - Menu

Obrolan (120)

Rabu, 02 Oktober 2013

LOVE
















LOVE














Sabtu, 27 April 2013






sincere love

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, 



membuatku membenci suamiku sendiri. Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka. Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku. Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku. Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya. Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami. Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku. Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi. Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya. “Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut. Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??” “Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu. Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah. Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas. Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis. Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara. Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku. Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya. Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku. Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya. Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku. Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia. Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku. Istriku Liliana tersayang, Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu. Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang. Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku. Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy! Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note. Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta. Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi. Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?” Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.” Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?” Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.” Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus. 



Memories In Showers



Bintang berdiri di atas bukit dengan sepedanya.Dia meremas-remas tangannya yang disertai keringat dingin. “Darrr..... “Hayo lama banget ya gue ?”. Carissa tersenyum meminta maaf.Bintang merebahkan tubuhnya di pohon besar dan Carissa pun mengikutinya. Mereka
berdua sama-sama mendongak ke atas langit dan berbicara kepada diri mereka masing-masing. Akankah nanti mereka pergi dari dunia ini ?
“Lo lagi inget orang tua lo ya?” Carissa merangkul kepala Bintang.
“Gue takut Ca, gue hanya takut.” Bintang melepaskan satu butir air matanya, dia merindukan orang tuanya.
“Gue sayang lo Bintang, gue udah anggep lo jadi ade gue sendiri.Kita ini saudara,sahabat,keluarga, lo inget itu?” Carissa menatap Bintang lekat-lekat.
“Makasih Ca.” Mereka pun berpelukan dan Bintang menumpahkan air matanya, untuk kerinduan akan orang tuanya, kesendiriaannya, dan semua kekosongan yang ia rasakan.
Mereka pulang menenteng sepeda masing-masing.Bintang merasa lega karena ia telah menangis, menumpahkan segalanya.
“Bintang lo cerita dong, lo udah janji bakal bilang siapa cowok yang lo suka.”
“Lo dulu aja Ca.” Bintang menyeringai, meminta dan memohon kepada Carissa.
“Lo dulu ah.” Carissa mengelak.
“Lo dulu Ca, entar abis lo baru gue, janji deh.” Bintang berusaha meyakinkan Carissa.
“Oke. Gue suka sama Mario, gue bener-bener suka sama dia. Bukankah gue pernah bilang?”
Bintang terdiam, bukankah itu yang akan dikatakannya? Kenapa harus keduluan oleh Carissa? Lalu bagaimana?
“Bintang lo denger kan?”
“Iya.”
“Gue suka sama Mario.Dia sering senyum ke gue, entah gue yang geer atau ngga tapi gue suka sama dia.”
“Oh.”
“Kalo lo suka sama siapa?”
“Gue gak tahu.”
“Kok lo gitu sih, lo kan udah janji sama gue, lo ga boleh tertutup gitu dong.”
“Gue suka sama ............’’
“Sama siapa?”
“Sama siapa ya ..... ’’
“Siapa namanya?”
“Gue gak tahu namanya.”
“Udah Bintang, gue tau ko lo suka sama Doni kan?”
Bintang menganngguk pelan dengan ragu dan menatap wajah sahabatnya yang sedang gembira. Oh Tuhan ... kenapa harus Doni , kenapa harus dia yang terlibat?Bintang mengumpat dalam hati.
“Lo harus bantu gue biar dapetin dia.”
“Gue harus gimana?”
“Lo harus terus deketin dia, ngulik tentang dia.”
“Hm ... ‘’’
“Lo lakuin buat gue yah ?”
“Ya.”
“Gue juga bakal lakuin hal yang sama.”
“Apaaaaaaa?”
*
Bintang masuk ke dalam rumahnya, dia meletakan sepedanya dengan asal di perkarangan rumah.Dia enggan untuk mengembalikannya ke dalam garasi mobil.Bintang langsung menuju kamarnya, meyalakan lampu dan duduk di depan jendela. Gerimis sudah menyapanya sore ini, meski ia tak merasakannya tapi ia menikmatinya di dalam kamarnya. Akhir-akhir ini sering turun gerimis atau hujan sepanjang malam. Tapi dia lebih meyukai gerimis dan pelangi sehabis hujan. Bintang melihat kompleks perumahannya yang berderet memanjang saling menghadap ke jalan. Bintang mengambil buku dan pensil kesayangannya. Dia menulis dan terus menggoreskan isi hatinya dia atas kertas putih itu ..
Tuhan, aku lelah dengan semuanya.Mereka selau bersandiwara di depanku. Apakah mereka tidak merasa bahagia? Lalu aku siapa bagi mereka? Tuhan, mengapa setiap aku menatap matanya aku merasakan kekosongan yang sama? Tapi hati ini sejuk setiap kali dia berada di sampingku. Semua orang tahu bahwa dia adalah cowok yang luar biasa.Dia tampan, pintar, dan populerTapi kadang tatapannya begitu kosong, bahasa tubuhnya begitu dingin dan kaku.Itulah yang kurasakan saat aku duduk bersamanya. Kami memang tak sering banyak bicara, hanya saja sering berbasa basi. Carissa bilang dia menyukainya, lalu kenapa aku juga harus menyukainya? Apa aku bisa masuk ke dalam dunianya? Apakah dia juga selalu merasakan kesenidirian yang selalu aku rasakan selama ini? Aku tidak tahu .. Aku tak ingin tahu...
Bintang merebahkan tubuhnya di atas ranjang.Dia memeluk gulingnya, lau menoleh ke samping kannanya menatap foto orang tuanya. Mama Papa, jangan tinggalin aku.Carissa, Bude Rini, Opa,Om Roy, kalian orang-orang yang sayang aku, aku juga sayang kalian.
*
Prang........ Tiba-tiba suara itu menghantam telinga Bintang. Bintang terperanjat kaget dan bangun dari tidurnya.Tak perlu waktu lama untuk memikirkan dari mana arah suara itu.Bintang langsung keluar dari kamarnya menuruni tangga dan menuju ruang tamu.Dia melebarkan matanya ketika masih berdiri di anak tangga.Mama Papa? Kenapa mereka? Mengapa Mama menangis? Mengapa Mama mendorong Papa hingga terjatuh? Oh Tuhan .. Ada apa dengan semua ini? Bintang kembali berlari menaiki tangga menuju kamarnya.Dia langsung melompat ke atas ranjang dan memeluk gulingnya. Bintang kembali menumpahkan air matanya.
Tuhan mengapa mereka harus bertengkar? Salah apa Papa sehingga Mama harus mendorongnya hingga terjatuh? Tuhan, kenapa Mama menangis? Tuhan .. kenapa Tuhan? Kenapa?
*
Bintang duduk seperti biasa di depan jendela menatap cahaya matahari sore. Dia bosan sendirian, tadi dia melihat papanya pulang dan langsung tidur. Bintang keluar dari kamarnya menjinjing jaket kulitnya dan berpamitan kepada Mbok Rumi untuk pergi sebentar. Mamanya pergi ke luar kota selama satu minggu dan kembali memperkerjakannya pembantunya.
Bintang berjalan di sekitar area kompleks yang sepi. Dia duduk di sebuah ayunan yang di depannya terdapat sebuah danau kecil. Dia bergelayun layaknya saat ia masih jadi anak TK. Tiba-tiba ayunan itu terhenti, dia menoleh ke samping dan Mario ada di sana.
“Rio lo ngapain di sini?”
“Keliatannya?”
“Nggak ngapa-ngapain.”
Mario tersenyum tipis. Bintang memandanginya dengan teliti, dia selalu mendapat kesan kagum setiap kali memandang wajahnya. Tampan.
“Jalan-jalan yuk?”
“Kemana? Menurut lo bakal hujan gak yo?”
“Paling gerimis doang.”
Bintang tersenyum bahagia. Mereka berjalan menyusuri jalanan kompleks yang sunyi.
“Mario lo punya adek, punya kakak, atau anak tunggal?”
“Gue anak tunggal, kenapa?”
“Nggak, gue juga anak tunggal. Kalo orang tua lo gimana?”
“Ibu gue seorang dokter gigi, Ayah gue kepala rumah sakit.”
“Oh pantesan gigi lo rapi.” Bintang tertawa.
“Kalo ibu gue punya beberpa hotel di Jakarta, dia seorang bisniswoman, Ayah gue juga Direktur perusahaan.”
Bintang mendongak ke atas langit, menatap langit yang mulai mendung.
“Apa yang lo suka Yo?”
“Apa aja.”
“Pasti lo suka matematika, suka basket, suka musik, dan lo suka apa aja.”
“Kalo lo?”
“Gue suka gerimis, gue suka pelangi, gue suka sastra, gue suka boneka, gue suka bunga, gue suka banyak.”
“Lo gak suka matematika, lo gak suka sejarah .. ’’
“Haha gue gak suka tuh sama semua pelajaran yang ada di sekolah.”
“Lo suka sastra.”
“Tapi gue Cuma suka sastra Prancis, sastra indonesia gue gak terlalu suka selain novel.”
“Gue suka coklat.”
“Gue gak suka coklat, gigi gue udah bolong-bolong.”
Mario mengelus-ngelus kepala Bintang. Bintang kaget dengan apa yang di lakukan Mario kepadanya.
“Ini rumah gue ... “
“Hah ini rumah gue .. jadi rumah kita berhadapan?”
Mario tak menjawab, dia langsung membuka pagar rumahnya dan masuk ke dalam rumah. Bintang masih terdiam disana dan menatap rumah Mario. Jadi selama ini rumah aku sama Mario satu kompleks dan berhadapan? Oh Tuhan ...
*
Pagi hari Bintang menuruni tangga lengkap dengan seragam dan tasnya. Dia berjalan menuju meja makan dan langsung menyambar roti isi kacang kesukaannya.
Bintang berdiri di pinggir jalan celingukan mencari-cari Mario. Kok selama ini gak pernah ketemu yah? Bintang berdiri selama setengah jam dan hasilnya nihil. Apa dia berangkat subuh kali ya? Bintang berjalan pergi meninggalkan rumahnya. Dia tak mau terlambat seperti hari kemarin, harus ketinggalan pelajaran dan susah meminjam catetan Mario
*
Bintang duduk di kursinya dan menatap soal-soal yang ada di depannya dengan bingung. Kok susah banget sih soalnya? Bintang menyesali kebodohannya dalam hitungan. Dia menoleh ke belakang memandangi Carissa, ah dia pasti bisa, dia kan pintar.
“Lo gak nyatet materinya.” Mario berucap datar.
“Emang.” Bintang hanya bisa pasrah, dia kembali menatap satu persatu angka-angka di depannya. Rasanya aku mau muntah ....
Kringg.......... bel sekolah berbunyi tanda waktu pulang sekolah telah tiba. Semua anak berteriak lepas, rasanya seperti sedang merdeka 45.
“Lo kalo mau nungguin gue jangan tunggu di pinggir jalan.”
“Hah apaaa? Siapa juga yang nungguin lo, geer banget sih.”
“Kalo lo mau nyalin matematika, dateng jam 4 ke rumah gue.”
Mario pergi keluar kelas dan memperlihatkan senyum tipis andalannya. Oh Tuhan, sumpah aku gak tahan liat senyumnya.Tiba-tiba Carissa datang menghampiri Bintang untuk mengajaknya pergi ke Mall. Bintang mengiyakan saja karena dia juga bosan berada di rumah asal sampai pukul 4 sore, karena dia sudah berjanji pada dirinya sendiri akan menerima tawaran Mario.
Bintang pergi ke foodcourt di sebuah mall di Bandung. Dia pergi naik taksi bersama Carissa. Biar keren turunnya, kata Carissa menjelaskan saat Bintang menolak untuk naik taksi karena uangnya hanya pas-pasan.
“Oh iya, Mario gimana?”
“Dia baik-baik aja.”
“Maksud gue lo tau apa aja tentang dia?”
“Dia suka Matematika,basket,musik,dan suka coklat.”
“Sama sama penggemar coklat dong.”
“Gue pernah ngobrol sama dia di acara feskal musik. Yah, cuman ngobrol ngalor ngidul gitu, tapi gue seneng.”Gue juga, jawab Bintang dalam hati.
Setelah asyik mengitari mall akhirnya mereka pulang naik angkutan umum yang berbeda. Carissa bertempat tinggal di pinggir jalan raya yang dipenuhi dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Carissa adalah anak tunggal dari seorang pejabat dengan predikat orang terkaya ke-8 se-indonesia, tentu saja rumahnya mewah dan bertempat di kawasan elit. Sedangkan Bintang hanya bertempat tinggal di area kompleks yang sepi dan sederhana, yang kadang rumah-rumahnya tak berpenghuni semua. Sama seperti rumah Bintang yang setiap harinya terasa kosong lenyap tak bernyawa.
Bintang turun dari angkutan umum dan berjalan menuju area kompleks perumahannya. Dia berjalan sendirian dan sesekali menendang kaleng-kaleng bekas yang ada di bawah kakinya. Tit tit tit tit ... suara klakson sepeda motormengagetkannya.
“Cepet naik.” Mario menatap Bintang dengan tatapan yang tajam. Bintang menurut saja kepada Mario, tak peduli dengan rasa malu yang ada dalam dirinya. Mereka berhenti di depan rumah Mario, lalu masuk ke dalam rumah yang pintunya terbuka begitu saja. Bintang mengikuti kemana Mario melangkah. Dan tibalah di tempat tujuan, yakni kamar Mario.
“Lo belum belajar yang mana aja?”
“Bab 3 gue gak ngerti, bab 5 bab 4 juga sama.”
“Lo ngapain aja di kelas?”
“Gue gak ngerti , hehe ...”
Mario menyuruh Bintang duduk di atas lantai. Mario menerangkan satu persatu materi yang menurut Bintang tak mengerti. Mario menyuruh Bintang untuk mengerjakan soal-soal yang ia tulis di buku Bintang. Seperti layaknya murid yang baik, Bintang mengangguk saja setiap apa yang di perintahkan Mario kepadanya. Setelah satu jam berkutat dengan Trigonometri dan Mathematical logic, akhirnya mereka beristirahat.
“Lo mau minum apa?”
“Apa aja.”
“Air putih?”
“Boleh.”
Mario melangkah keluar kamarnya menuju dapur mengambil makanan dan minuman, sedang Bintang asyik berpetualang dengan isi kamar Mario. Bintang memandangi foto-foto kecil Mario bersama orang tuanya. Rasanya dia pernah bertemu dengan Mario kecil yang ada dalam foto ini. Dia menyentuh semua koleksi gitar milik Mario yang tergantung di dinding kamar.
Mario kembali ke kamar dengan membawa minuman dan snack. Mario membawa satu gelas air putih dan satu gelas orange juice serta keripik kentang.
“Ko gue minum air putih sedangkan lo minumnya jus?”
“Kenapa lo gak minta kalo mau?”
“Lo nawarinnya air putih.”
“Kenapa lo gak nolak?”
“Yaudah.”
Mereka menghabiskan minuman dan kerpik kentang satu toples penuh sehingga tak terasa waktu sudah menjelang malam. Bintang melirik jam tangannya, lalu membereskan buku-bukunya yang berserakan di lantai.Bintang menuruni tangga dan bergegas menuju pintu utama rumah untuk pulang. Bintang melambaikan tangannya dan masuk ke dalam rumahnya. Ketiba tiba di rumah, Bintang mengintip lewat jendela yang ada di ruang tamu dan memandangi punggung Mario yang semakin menjauh dan menghilang dari pandangannya. Bintang tersenyum gembira. Bintang berlari menaiki tangga untuk mengganti pakaiannya karena sebentar lagi jam makan malam bersama ayahnya telah tiba.
Ketika Bintang menghabiskan makan malamnya, Bintang bertanya pada ayahnya. “Pah tau gak sih sama penghuni rumah di depan kita? Bintang menatap ayahnya menunggu jawaban yang pasti. “Pak Hanggara maksud kamu?” Ayahnya masih mengaduk-ngaduk sisa kuah sotonya. “Ayah tahu?” Bintang mengernyitkan dahinya, dia tidak mengetahui siapa pak Hanggara itu. “Bukankah dia sudah 17 tahun tinggal di sini? Papah rasa anaknya juga seumuran dengan kamu, mungkin teman kecilmu juga.” Bintang terdiam kaku, otaknya terus berpikir, mengapa dia tidak pernah tau tentang Mario? Bintang menelan ludah.
*
Bintang duduk di lantai lapangan basket di temani Mario. Bintang membuka ranselnya dan mengeluarkan satu botol air mineral dari dalam tasnya.
“Lo pasti haus.” Ucap Bintang seraya memberikan botol minuman itu kepada Mario.
“Thanks.” Mario menerima minuman tersebut dan tersenyum tipis.
Hari sudah menjelang sore, mereka pun pulang meninggalkan lapangan basket dan berjalan menuju rumah mereka. Setiap hari Rabu dan Kamis mereka akan selalu berangkat sekolah bersama dan tentunya pulang sekolah pun bersama-sama. Mereka sama-sama mengikuti ekskul pada hari tersebut. Hari ini seperti biasa Bintang menunggu Mario sampai selesai latihan.
“Rio hidung lo ko berdarah, jatuh dimana?”
“Tadi kelempar bola.”
“Sini gue bersihin darahnya”
“Terserah.”
Bintang mengelap hidung Mario yang berdarah dengan beberapa helai tisyu.“Thanks.” Mario menatap Bintang dalam dalam, seakan akan ingin masuk ke dalam dua bola mata yang hitam itu, dua bola mata yang sinarnya redup sehingga terlihat sayu.
Setelah selesai mengobati Mario, akhirnya keduanya melanjutkan perjalanan mereka. Tiba-tiba Hujan mengguyur kota Bandung, mengguyur mereka berdua.“Gue bawa payung.” Bintang mengeluarkan payung dari ranselnya. “Tas lo serba ada.” Mereka pun tertawa bersama. Hujan semakin deras dan mereka masih setengah perjalanan menuju rumah. Lalu Mario melepaskan jaket yang di kenakannya dan mengenakannya di punggung Bintang. “Lo pasti kedinginan.” Mario megucapkannya dengan datar. “Thanks.” Bintang tersenyum manis kepada Mario.
Bintang mengantarkan Mario sampai depan rumahnya. “Ini jaket lo.” Bintang mencoba melepaskan jaket yang di kenakannya. “Buat lo aja.” Mario berlari masuk ke dalam rumahnya dan Bintang masih berdiri di sana. “Hujan, hari ini kau memberikan rasa kebahagiaan, yang aku pun tak tau mengapa.”
*
Kringgggg......... Hari ini Bintang kesiangan, Mbok Rumi lupa membangunkannya, sedang jam wekernya entah mengapa tak berbunyi. Bintang berlari menuju koridor sekolah dan sempat berhenti di mading lalu hendak pergi menuju toilet. Rasa sakit perut yang tiba-tiba datang begitu saja membuat Bintang sedikit menderita. Bintang terhenti ketika dia belum sampai di toilet, dia berpapasan dengan Mario yang sedang menenteng beberapa buku. “Lo kenapa?” Mario terheran-heran melihat wajah Bintang yang pucat. “Gue sakit perut.” Bintang memaksakan senyumannya dan langsung melanjutkan perjalanannya menuju toilet. Mario mengikuti Bintang menuju toilet, dia berhenti ketika Bintang masuk ke dalam salah satu kamar toilet perempuan. Semua perempuan yang masuk ke dalam kamar mandi tak henti menatap wajah Mario yang sedang berdiri di depan pintu toliet. Mario tak peduli dengan semua itu,ia malah balas menatap tajam permpuan-perempuan yang cekikikan menertawakannya.
Setelah keluar dari toilet, akhirnya Bintang dan Mario duduk bersama di sebuah kursi taman. Banyak orang yang berlalu lalang di depan mereka. Ada yang menatapnya tidak suka, ada yang tersenyum salah tingkah, dan ada pula yang terlihat biasa saja. Bintang memakluminya karena dia tahu Mario adalah salah satu cowok famoust di sekolah. Namun terkadang wajahnya yang flat, bahasa tubuhnya yang dingin, tatapan matanya yang serius membuat sekian banyak perempuan menyerah begitu saja. Banyak siswi-siswi perempuan yang menyimpan surat cinta mereka di loker Mario atau menyimpan bunga yang akhirnya di biarkan sampai kering di kolong meja Mario oleh Mario sendiri. Banyak yang mengatakan bahwa Mario cocok dengan Carissa dikarenakan sama sama famoust, sama-sama cantik dan tampan. Tapi Bintang tak pernah tahu siapa perempuan yang Mario suka. Apa Mario selalu menolak perempuan yang menyukainya? Entahlah Bintang tak pernah mengetahuinya. Bintang merasa tak ada perempuan yang bisa membuat hatinya luluh. Bintang berharap dia bisa masuk dalam hatinya dan memilikinya untuk selamanya.
*
Sudah satu tahun berlalu, Bintang kini duduk di kelas 2 bangku SMA. Bintang masih bisa mengingat kembali ketika dia pertama kali menginjakan kakinya di sekolah ini. Rasanya baru kemarin dia mengikuti kegiatan masa orientasi siswa(MOS). Bintang memejamkan matanya dan sesekali mendongak ke atas langit menatap langit biru. Mengapa hari ini tidak ada gerimis? Mengapa hari ini tidak ada pelangi?
“Gue udah nyimpen perasaan ini satu tahun. Entah kenapa banyak cowok yang gue tolak, rasanya gue belum bisa .. gue suka sama Mario.”
“Gue ngerti.”
“Selama ini gue hanya tau dia dari cerita-cerita yang lo ceritain ke gue aja. Gue juga pengen milikin dia, lo bantuin gue yah?”
Bintang terdiam. Apa yang di katakan Carissa barusan membuatnya terdiam kaku. Bintang berdiri meninggalkan Carissa yang masih terlentang di atas bukit. Bintang pulang menuju rumahnya. Ketiba tiba di depan rumahnya Bintang berpapasan dengan Mario. Bintang memalingkan wajahnya dan bergegas membuka pagar lalu masuk ke dalam rumahnya. Bintang membuka pintu kamarnya dan langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kenapa hati ini begitu sakit? Kenapa Carissa harus mengatakan hal itu? Mario ... gue takut kehilangan lo.. Bintang melepaskan butir-butir air matanya yang kian lama terus membasahi pipinya.
*
Terik matahari membakar kulit dua insan itu. Sepanjang perjalanan menuju rumah mereka, mereka hanya diam. Bintang sesekali melap keringat yang bercucuran di wajahnya denngan tangannya sendiri. Mario hanya diam melihat semua yang dilakukan Bintang, dari mulai menggigit bibir,meremas-remas tangan, menyapu keringatnya padahal sudah tak ada keringat yang menempel di kulitnya,dia mengetahui bahwa Bintang sedang dalam keadaan gugup atau nervous.
“Mario ada yang mau gue omongin.” Bintang menatap lurus jalan yang ada di depannya.
“Apa?” Mario mngucapkannya seakan tidak ingin bertanya.
“Carissa suka sama lo.” Bintang mencoba mengucapkan kalimat itu meski terasa sakit.
“Lalu?” Mario menatap Bintang seakan akan mencari tahu di balik dua bola matanya.
“Dia pengen jadi pacar lo?” Bintang mencoba terlihat biasa saja.
“Lo pengen gue jadi pacar Carissa?” Mario berucap datar.
“Gue harap lo mau.” Bintang menarik napas dalam-dalam dan pergi meninggalkan Mario yang berdiri di depan rumah Bintang. Bintang masuk ke dalam rumahnya dan berlari menaiki tangga membuka pintu kamarnya dan duduk di balik pintu kamarnya. Dia memejamkan matanya dan meremas-remas tangannya. Rasanya ia sulit bernapas, sehingga seluruh anggota tubuhnya terasa sakit, merasakan apa yang ia rasakan. Bintang tak tahu kenapa ia harus menangis, kaena toh sebenarnya dia tak berhak untuk menangis.
*
Sudah dua minggu berlalu Bintang tak mengobrol ataupun bertegur sapa dengan Mario. Dia tak lagi satu tempat duduk dengannya, karena tempat duduk mereka selalu di rolling satu minggu sekali. Bintang malas melihat Mario apalagi Carissa yang setiap bertemu pasti bercerita tentang Mario. Dia selalu pura-pura tidak melihat atau membuang muka ketika berpapasan dengan Mario dan Carissa. Bintang benar-benar menjauhi Mario dan Carissa. Rasanya begitu sakit harus melihat mereka berjalan berdua atau hanya sekedar terlihat mengobrol. Dia benci pemandangan tersebut. Apalagi kalo Bintang harus melihat Mario yang membonceng Carissa di saat pulang sekolah. Meski bintang menyadari bahwa dia bukan siapa-siapa Mario yang tak berhak untuk bertindak seperti itu, tapi Bintang merasa hatinya begitu sakit ketika Carissa benar-benar memiliki Mario. Mengapa dia tidak mendapatkan apa yang di dapatkan Carissa? Carissa nyaris sempurna sebagai seorang perempuan, dia cantik, pintar,kaya, famoust dan baik. Rasanya dunia tak adil bagi Bintang, dia tak begitu cantik, dia lemot dalam hitungan, keluarga yang sederhana dan hubungannya tak harmonis, tak banyak orang yang mengenalnya karena dia bukan siswi yang senang ikut berorganisasi seperti Carissa yang menjabat sebagai ketua OSIS.
Akhirnya aku pun harus mengalah terhadap keadaan. Menerima semua yang terjadi meskipun aku tak pernah menginginkannya. Aku berhenti untuk mengharapkanmu, membiarkanmu berlalu seperti angin. Tanpa rasa yang pasti aku melepaskanmu pergi. Seandainya aku boleh memilih untuk tidak ingin memilikimu, dan tuhan membuatmu menjadi hal biasa saja untuku. Rasanya semuanya menyakitkan buat aku, membuat aku terjatuh, lunglai, tak berdaya. Tak cukup aku berteriak, tak cukup aku menangis... Mario apakah kau mengerti perasaanku ....
*
Akhirnya Bintang tiba di tempat yang selama ini ia banggakan, yakni Puncak yang bertempat di daerah kawasan Cianjur-Bogor. Hari ini adalah liburan akhir tahun yang di adakan oleh sekolah. Bintang menyeret dua kopernya menuju Villa. Tiba-tiba Carissa memeluk Bintang yang datangnya entah dari mana. Bintang terkejut. Mengapa Carissa tiba-tiba memeluknya? “Bintang gue kangen sama lo, gue pengen kita liburan bareng di sini, maafin gue kalo selama ini nyuekin lo.” Bintang melepaskan pelukan Carissa, dia tersenyum seraya berkata “Maafin gue juga.”
Malam hari tiba saatnya untuk acara bakar ikan di halaman belakang Villa. Semua anak-anak menyalakan api unggun dan bergembira ria bernyanyi bersama-sama. Kecuali Bintang yang hanya diam menyaksikan mereka semua dari kejauhan. Bintang duduk di atas rumput dan mendongak ke atas langit. Tiba-tiba seseorang duduk di sampingnya dan ikut mendongak ke atas langit.
“Lo tau kenapa hari ini gak ada bintang di langit.?”
“Ngapain lo di sini?”
“Terserah gue. Kenapa lo harus jauhin gue?”
Bintang terdiam dan mengarahkan pandangannya ke semua anak-anak yang sedang berkumpul di halaman belakang. Mario berdiri dan menatap Bintang lekat-lekat. “Maafin gue, gue pengen kita tetep temenan kaya dulu.” Bintang hanya menunduk tak berani menatap Mario. Bintang beranjak dan akan kembali ke kamarnya. Dia ingin istirahat, dia tak mau memikirkan Mario.
Bintang membuka pintu kamarnya dan mendapati Carissa sedang duduk di jendela kamar. Mereka saling berpandangan lalu saling melempar senyum. Bintang mendekat kepada Carissa dan membelai rambut panjang nan indah itu.
“Lo suka gak sih sama Mario?” Carissa menatap wajah Bintang.
Bintang tersenyum “Banyak perempuan yang menyukainya.”
“Gue cape, selama ini gue tak pernah tau apa yang sedang gue pertahanin. Lo tau gak berapa kali kita kontekan dalam satu hari? Kita juga pernah nggak kontekan selama 3 bulan. Tak ada yang istimewa dalam hubungan kami, tapi mengapa aku berat untuk melepaskannya?”
Bintang terdiam setelah mendengarkan pengakuan Carissaa. Dia tak ingin berpikir banyak untuk saat ini. Dia memilih untuk tidur meski sulit memejamkan matanya.
*
Pagi yang cerah Bintang berjalan menysuri kebun teh. Dia merasakan udara segar menyapanya di pagi hari ini. Tiba-tiba kakinya terpeleset sehingga ia pun terjatuh ke tanah. Bintang meringis menahan rasa sakit akibat luka di kakinya. Lalu dari arah kejauhan tampak seorang laki-laki berlari menghampiri Bintang. Laki-laki tersebut membantu Bintang berdiri dengan merangkul pundaknya. “Thanks.” Bintang mengucapkannnya dengan ragu dan tak berani menatap wajah laki-laki itu.
Setelah tiba di Villa, mereka berpapasan dengan Carissa dan Doni. Namun mereka tetap melanjutkan langkah kaki mereka menuju kamar Bintang. Bintang duduk di ranjangnya dan menatap laki-laki itu secara perlahan-lahan. “Gue sayang sama lo.” Ucap laki-laki itu dengan mantap. Gue juga, jawab Bintang dalam hati. Bintang menatap laki-laki itu yang berjalan membelakanginya lalu terhenti tepat di pintu kamar. Di sana berdiri seorang perempuan yang menatap Bintang tanpa henti. Bintang menunduk tak berani mengarahkan pandangannya ke arah pintu kamarnya. “Kita putus ya Carissa.” Perempuan itu menarik napas dalam-dalam “Oke kalo itu yang lo mau.” Bintang terdiam memandangi mereka yang pergi meninggalkan dia seorang diri di kamarnya. Bintang kembali menatap kakinya yang masih mengeluarkan tetesan darah segar. Oh Tuhan apa yang telah terjadi?
*
Bintang menatap Mamanya yang masih terdiam sedari tadi. Teh yang ada di hadapan mereka sudah berubah menjadi dingin. Lalu Mama memulai pembicaraannya dengan menatap mata Bintang lekat-lekat.
“Mama minta maaf sebelumnya karena Mama harus mengatakan yang sebenarnya. Mama lelah harus terus menyembunyikannya, harus terus pura-pura seolah-olah tak terjadi apa. Mama sudah tak mampu mempertahankan keluarga ini. Mama rasa ini keputusan terbaik untuk Mama sama Papamu. Maafkan Mama.” Mama pun mulai menangis. Bintang memeluk Mamanya dengan erat, dan mereka pun menangis bersama.
Satu kenyataan yang harus Bintang terima adalah bahwa keluargannya sudah tak utuh lagi dan kekosongan yang selama ini rasakan memang berakhir pada titik puncak dimana kekosongan itu akan terjadi selamanya dalam hidupnya. Bintang akan tinggal di Jakarta bersama Papanya, sedangkan Mamanya tetap di Bandung untuk tetap mengurus pekerjaannya. Bintang sedih harus meninggalkan kota kelahirannya ini, kota yang menjadi bagian terpenting dalam hidup Bintang. Dia duduk dan menatap sebuah danau kecil yang airnya hampir surut, kini telah tiba musim kemarau dimana dia tak akan dapat menemukan gerimis dan pelangi lagi. Tuhan mengapa semuanya terjadi tanpa aku mau? Apakah aku tak berhak memiliki mereka, yakni orang-orang yang aku sayangi? Mario duduk di samping Bintang menatap matanya dalam-dalam. Mario memeluk Bintang erat dan membiarkan Bintang menangis di bahunya. Mario merangkul pundak Bintang dan menatap matanya dalam-dalam.
“Gue gak mau lo sedih, karena gue juga bakal sedih. Selama ini gue selalu mencoba untuk berdamai dengan kesedihan. Gue gak mau orang-orang yang sayang sama gue ikut sedih karena gue. Mereka adalah orang yang berbaik hati nan tulus yang menyayangi gue selama 12 tahun. Gue terkadang sedih ketika gue selalu merepotkan mereka. Dari kecil gue sering sakit-sakitan jadi gue berubah jadi anak rumahan yang nggak pinter bergaul, yang di bilang anak aneh sama semua orang.”
“Lo pasti menyimpan banyak kesedihan?”
“Kesedihan itu udah jadi kebahagiaan buat gue.”
Mario , kepadamu, aku menyimpan cemburu dalam harapan yang tertumpuk oleh sesak dipenuhi ragu.Terlalu banyak ruang yang tak bisa aku buka. Dan, kebersamaan cuma memperbanyak ruang tertutup.Mungkin, jalan kita tidak bersimpangan. Ya, jalanmu dan jalanku. Meski, diam- diam, aku masih saja menatapmu dengan cinta yang malu- malu.

Satu taun berlalu, Bintang berjalan di sebuah kompleks perumahan yang sepi. Bintang tak pernah merasa asing dengan pemandangan di sekitarnya. Semuanya masih terasa sama, bahkan tak ada sedikit pun yang berubah. Bintang menghampiri seorang wanita yang hendak menutup pagar.
“Maaf bu, apakah ini rumahnya Mario Hanggara?”
“Silakan masuk dulu ke dalam.” Ibu itu membukakan pagarnya dan menyuruh Bintang masuk ke dalam rumahnya. Lalu Bintang duduk di sebuah sofa kecil sambil menatap ke sudut-sudut rumah yang terlihat sepi.
“Nak Bintang, Mario sudah pergi satu tahun yang lalu.” Bintang tercekat, nafasnya tiba-tiba berubah menjadi sesak. Apakah ia tak salah dengar? Apakah ibunya Mario sedang bergurau? Apakah dia sedang bermimpi?
“Mario pernah menitipkan benda ini untuk diberikan kepada seorang gadis yang bernama Bintang. Dia mengatakan bahwa suatu saat nanti gadis itu akan datang mencarinya. Ibu rasa benda ini ditujukan untuk kamu karena selama ini ibu menunggu gadis yang akan datang ke rumah ini.”
Setelah menerima benda itu Bintang berpamitan kepada sang Ibu untuk pulang. Bintang berjalan menuju rumahnya yang sudah lama ia tinggalkan , dia membuka pagar dan berdiri disana. Dia kembali mengingat satu tahun ke belakang ketika Mario berdiri di sana untuk berangkat bersama ke sekolah. Bintang tak percaya kini semuanya tinggal kenangan, kenangan yang paling berarti bersama Mario.
Bintang membuka pintu kamarnya dan duduk menghadap ke jendela. Bintang perlahan membuka kotak yang di berikan ibu Mario tadi. Sebuah buku tergelatak di sana. Bintang meraih buku itu dan perlahan mencoba untuk membukanya.

*Gadis itu bernama Bintang, aku menatapnya dengan tajam ketika dia berdiri di depan mading. Dia adalah teman sebangku ku untuk tahun ini, tahun pertama aku masuk SMA. Dia lumayan baik, setidaknya dia tak seperti kebanyakan orang sebelumnya yang malas berhadapan dengan aku yang sering di panggil anak aneh. Matanya yang bulat yang entah mengapa memberi sedikit kehangatan saat setiap kali aku menatap wajahnya. Hari ini aku mengembalikan bukunya yang tertinggal di kantin. Dia selalu menatapku malu-malu dan penuh ragu. Dia begitu canggung denganku, namun aku tak pernah menemukan rasa tidak suka di wajahnya kepadaku, setidaknya aku mempunyai seorang teman saat ini.
*Dia adalah gadis kecil yang pernah aku ejek namanya dahulu. Dia adalah teman terakhirku saat aku masih duduk di bangku dasar kelas 2. Sejak aku mengetahui bahwa aku mengidap sebuah penyakit yang sangat parah, aku tak pernah menatap wajah gadis kecil itu lagi. Tapi hari ini dia duduk  di sampingku di lapangan basket. Kami memang menjadi dekat entah kenapa. Kami sering pulang bersama, belajar bersama, berangkat sekolah bersama, ataupun bermain di depan danau sambil berayunan. Aku merasa sebagian jiwaku begitu hidup. Aku tak pernah menghirup udara luar, karena aku tak mau penyakit ini kambuh dan berubah menjadi lebih parah lagi. Namun akhir-akhir ini hidungku selalu mengeluarkan darah. Dia pernah menyeka darah yang mengalir dari hidungku, aku bahagia karena dia begitu baik padaku.
*Aku menyukainya dari pertama aku bertemu dengannya, meski aku tak pernah mengatakannya.Dia menyuruhku untuk menjadi pacar Carissa. Hari ini Carissa nembak aku, dan aku tak menjawabnya. Sejak itu dunia kembali berubah seperti dulu, Bintang menjauhiku. Penyakit ku kembali menyerang tubuhku, rasanya tubuhku terlalu lemah saat ini. Mungkiin Bintang membenciku,  karena Carissa menjadi pacarku. Jujur, aku tak pernah ingin dia pergi dari hiudpku.
*Dia akan pergi meninggalkan kota Bandung, meninggalkan kesedihannya selama ini. Aku merangkul pundaknya untuk terakhir kali. Dia telah menjadikan hidupku lebih berarti. Bintang .... aku menyayangimu, selamanya. Terima kasih kau telah memberikan ku cahaya di sisa akhir hidupku ....
FOR YOU, FOR LOVE .. BINTANG
“Lo tau kenapa hari ini gak ada bintang di langit?” Karena telah ada bintang yang terindah yang kini ada di sampingku.
“For you for love, Mario” Bintang meletakan seikat bunga lili di atas makam Mario.Thanks Rio, kamu udah jadi teman yang begitu berarti sampai saat ini.Aku tak akan pernah melupakanmu sedikit pun. Selamat tinggal Mario, aku mencintaimu. Aku hanya berani mengatakannya sekarang, setelah kau pergi selamanya. Biarkan aku hidup bersama cintamu di sini.Aku dan kamu, seperti hujan dan teduh. Pernahkah kau mendengar kisah mereka? Hujan dan teduh ditakdirkan bertemu, tetapi tidak bersama dalam perjalanan.Seperti itulah cinta kita. Seperti menebak langit abu- abu. Mungkin, jalan kita tidak bersimpangan…